JAKARTA, HNN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta untuk mengusut pengakuan Ketua DPRD Kota Bekasi Chairoman J Putro yang menerima Rp 200 juta dari Wali Kota nonaktif Bekasi Rahmat Effendi alias Pepen.
Pengakuan Chairoman itu setidaknya dapat membuka “Kotak Pandora” terkait dugaan kasus suap pengesahan anggaran yang selama ini dilakukan oleh anggota DPRD Kota Bekasi.
Koordinator Center for Budget Analysis (CBA) Jajang Nurjaman menilai bahwa Chairoman tidak bermain sendiri, sebab keputusan Ketua DPRD itu bersifat kolektif kolegial. Pengakuan politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu kian menguatkan bahwa selama ini ada praktik suap pada setiap pengesahan anggaran di Kota Bekasi.
Untuk itu, Jajang meminta lembaga antirasuah itu dapat memanggil unsur pimpinan DPRD yang lainnya. Sebab sangat mustakhil kalau tidak mengetahui adanya praktik suap dalam pengesahan anggaran tersebut.
“Kami meminta pengungkapan kasus suap di Kota Bekasi jangan berhenti di Rahmat Effendi. Karena korupsi di daerah penyangga Ibu Kota itu dilakukan dengan berjamaah, dan saya menduga melibatkan semua pihak,” ujar jajang kepada wartawan, Rabu (26/1/2022).
Jajang mengungkapkan, berdasarkan riset CBA, potensi korupsi yang sulit dibuktikan adalah dalam perencanaan. Namun publik hanya mengetahui proses penganggaran itu sudah diketok. Terkait ada suap atau tidak tidak bisa diketahui dengan jelas.
“Kalau dulu ada istilah ijon. Pihak swasta menyerahkan sejumlah uang sebelum terjadinya proses lelang. Dan ini kerap dilakukan antara kontraktor dengan oknum pemerintahan. Sementara pihak eksekutif kong-kalingkong dengan legislatif dalam pengesahan anggaran, sehingga ada potensi terjadinya suap,” tandas Jajang.
Dia mendunga kasus suap dalam memuluskan anggaran di DPRD Kota Bekasi juga bukan kali ini saja. Untuk itu, pegiat antikorupsi itu mendesak KPK untuk mengusut adanya praktik suap di DPRD Kota Bekasi pada tahun sebelumnya.
“KPK harus memanggil semua pihak. Bila perlu seluruh anggota DPRD Kota Bekasi diperiksa. Karena ada dugaan kasus suap dalam pengesahan anggaran itu sudah berlangsung lama,” katanya.
Ia mengakui, bahwa sebelumya CBA telah melaporkan sejumlah kasus dugaan suap di Kota Bekasi terkait dengan proses penganggaran.
“Dari tahun 2017 CBA telah melaporkan sejumlah kasus dugaan suap baik itu dilakukan oleh eksekutif maupun legislatif. Namun baru kali ini KPK mampir di Kota Bekasi. Dan kami yakini bila dibongkar banyak anggota dewan maupun kepala dinas yang terlibat,” beber Jajang.
Jajang menegaskan, pengembalian uang suap yang dilakukan oleh Chairoman itu seharusnya tidak menggugurkan kasus pidananya.
“Seharusnya proses pidananya jalan terus, sebab pengakuan Ketua DRPD itu bisa jadi pintu masuk untuk mengusut dugaan keterlibatan anggota dewan yang lainnya,” jelas Jajang.
Sementara itu, Ketua Umum Lembaga Pengawas Aparatur Negara (LPKAN) Indonesia, R.M Ali Zaeni mengaku miris dengan pengakuan Ketua DPRD Kota Bekasi yang notabene dari partai yang beridiologi agama itu.
Ali menduga bahwa Chairoman mengatahui bahwa uang Rp 200 juta itu sebagai bentuk kong-kalingkong pengesahan anggaran.
"Sangatah mustakhil bila Ketua DPRD menerima duit dua ratus juta bukan merupakan duit suap. Lantas mau berkelit apa? Jujurlah pada masyarakat," sindir Ali.
Untuk itu Ali meminta KPK menyeret siapa yang terlibat dalam kasus suap pengesahan anggaran. Sebab setiap pengambilan keputusan Ketua DPRD tidak berdiri sendiri.
Menurt Ali berdasarkan Perda No 01 Tahun 2019 Tentang Tatib DPRD Kota Bekasi, pada Pasal 39 menyebutkan bahwa: Pimpnan DPRD merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
“Artinya ada pihak-pihak lain yang diduga menerima uang suap dalam meloloskan anggaran itu. Jadi KPK jangan ragu untuk memanggil unsur pimpinan dewan yang lain,” tandas Ali. *
Editor : Adji