Presiden Prabowo Rehabilitasi Terdakwa Korupsi ASDP : "Momentum Reformasi Pemberantasan Tipikor dan Penegakan Hukum Berkeadilan”
Oleh : Abdul Rasyid
Kamis, 27 November 2025
Baca Juga: Ilmu Akademik, Skill, dan Peradaban Digital : Menjawab Tantangan Zaman
Keputusan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada Ira Puspadewi mantan Direktur Utama PT ASDP (Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan) Indonesia Ferry (Persero), bersama dua mantan direksi ; Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Wicaksono yang turut dijerat dalam perkara dugaan korupsi, bukanlah sekadar tindakan administratif biasa. Sebaliknya, keputusan rehabilitasi tersebut menjadi titik perdebatan publik tentang relasi kekuasaan negara, validitas metodologi penghitungan kerugian negara, serta konsistensi penegakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi (tipikor) yang melibatkan badan usaha milik negara (BUMN).
Ketika angka kerugian negara yang diklaim mencapai Rp 1,25 triliun, vonis penjara dijatuhkan selama 4,5 tahun, dan DPR RI turut memberikan pertimbangan kepada Presiden, wajar jika publik mempertanyakan : Apakah rehabilitasi ini tanda bahwa sistem hukum bekerja, atau justru isyarat ada yang salah sejak awal?
Tulisan ini menelaah isu tersebut dalam tiga fokus : (1) kedudukan rehabilitasi Presiden dalam hukum Indonesia, (2) keabsahan metodologi penegakan hukum tipikor di BUMN, dan (3) apakah pemeriksaan etik terhadap jaksa dan hakim diperlukan untuk menghindari kriminalisasi kebijakan publik.
1. Hak Prerogatif Presiden dan Rehabilitasi : Antara Konstitusi, Politik Hukum, dan Legitimasi Peradilan
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Pasal 14 UUD 1945 memberikan hak prerogatif Presiden untuk memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Meski istilah rehabilitasi tidak dicantumkan secara eksplisit, doktrin hukum menempatkannya sebagai tindakan pemulihan hak dan reputasi seseorang yang terdampak proses hukum.
Penting ditegaskan bahwa rehabilitasi dalam konteks Presiden berbeda secara fundamental dari rehabilitasi dalam KUHAP.
Rehabilitasi versi KUHAP hanya dapat diberikan kepada terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Sementara itu, rehabilitasi Presiden lebih bersifat penilaian moral atau pemulihan nama baik, tanpa membatalkan atau mengubah putusan pengadilan.
Secara yuridis formal, langkah Presiden tidak melanggar konstitusi. Namun secara normatif dan politis, rehabilitasi dalam kasus tipikor memiliki implikasi serius.
Di satu sisi, ia dapat dipahami sebagai instrumen koreksi terhadap potensi ketidakadilan prosedural maupun substantif. Di sisi lain, ia berpotensi mengirim sinyal bahwa eksekutif tidak sepenuhnya sejalan dengan logika peradilan.
Dengan demikian, pertanyaan kunci muncul :
Apakah rehabilitasi ini merupakan upaya pemulihan terhadap kekeliruan sistemik dalam penegakan hukum, atau justru preseden berbahaya yang melemahkan legitimasi putusan pengadilan?
Pertanyaan ini tidak dapat dijawab tanpa menelaah aspek paling kontroversial dari kasus ini dengan adanya besaran kerugian negara yang diklaim mencapai Rp 1,25 triliun.
2. Kerugian Negara Rp 1,25 Triliun : Persoalan Metodologi dalam Tipikor BUMN
Dalam hukum pidana korupsi, kerugian negara bukan sekadar angka, akan tetapi merupakan unsur pokok yang harus nyata (actual loss), terukur, dan dibuktikan melalui audit resmi oleh BPK atau BPKP. Tidak ada tempat bagi “kerugian potensial”, “estimasi pasar”, atau “proyeksi pendapatan” dalam konstruksi pidana.
Literatur akademik dan praktik pengadilan dalam 15 tahun terakhir menunjukkan adanya pola kriminalisasi direksi BUMN melalui pendekatan yang perlu dikritisi untuk dijadikan koreksi, bahwa
kerugian bisnis (business loss) diperlakukan sebagai kerugian negara (state loss).
Padahal dalam tata kelola korporasi, direksi dilindungi oleh business judgment rule (BJR) selama keputusan bisnis melalui prosedur dan mekanisme :
1. Diambil berdasarkan informasi yang memadai,
2. Dilakukan dengan itikad baik, dan
3. Tidak melibatkan konflik kepentingan.
BJR adalah norma universal dalam corporate law. Tanpanya, setiap direksi BUMN berpotensi dikriminalisasi hanya karena hasil bisnis yang buruk.
Dalam kasus Tipikor ASDP, yang menjadi pertanyaan publik adalah :
Apakah kerugian Rp 1,25 triliun tersebut memenuhi standar kerugian negara yang sah secara yuridis ?
Jika kerugian dihitung berdasarkan :
1. Potensi keuntungan yang tidak tercapai,
2. Nilai aset yang diproyeksikan,
3. Asumsi pasar yang spekulatif, atau
4. Kerugian yang bersifat administratif,
maka tuntutan tidak memenuhi standar hukum pidana.
Dalam situasi seperti itu, persoalan lebih tepat masuk ke ranah administratif atau perdata korporasi, bukan tindak pidana korupsi.
Dari urain diatas, rehabilitasi Presiden dapat dibaca dan pahami sebagai koreksi moral atas potensi salah klasifikasi perkara. Namun koreksi moral tanpa koreksi sistemik tidak menyelesaikan persoalan, justru menimbulkan pertanyaan baru : apakah para penegak hukum bekerja berdasarkan standar hukum yang benar ?
3. Putusan Pengadilan : Sah Secara Formal, Dipertanyakan Secara Moral
Tidak ada lembaga negara yang dapat membatalkan putusan pengadilan kecuali lembaga peradilan itu sendiri melalui mekanisme luar biasa seperti PK.
Dalam kasus perkara ini, rehabilitasi Presiden tidak mengubah status hukum ketiga terdakwa. Vonis dan keputusan pengadilan tetap sah. namun persoalan bukan berhenti pada legalitas formal.
Secara ketatanegaraan, ketika Presiden memulihkan nama baik seseorang yang telah divonis bersalah dalam perkara korupsi, dua implikasi muncul :
Pertama, otoritas moral putusan peradilan tergerus.
Publik menafsirkan bahwa logika putusan tidak sepenuhnya didukung cabang kekuasaan lain. Dalam kasus ASDP, terlibatnya DPR RI dalam memberikan pertimbangan memperkuat persepsi tersebut.
Kedua, muncul pertanyaan mengenai kualitas pembuktian.
Jika Presiden sampai harus “memulihkan nama baik” terpidana, apakah itu berarti proses pembuktian, khususnya penghitungan kerugian negara, tidak memenuhi standar yang seharusnya ?
Untuk menjaga wibawa hukum, pertanyaan ini tidak boleh dihindari.
Baca Juga: Ilmu Akademik, Skill, dan Peradaban Digital : Menjawab Tantangan Zaman
4. Apakah Jaksa dan Hakim Perlu Diperiksa
Pertanyaan ini sensitif dan sering disalahpahami sebagai bentuk intervensi kekuasaan lain terhadap yudikatif. Padahal dalam negara hukum demokratis, akuntabilitas adalah prasyarat independensi.
4.1 Pemeriksaan terhadap Jaksa : Saatnya JAMWAS Bergerak
Jaksa dapat diperiksa jika terdapat dugaan:
1. Penyimpangan metodologi penghitungan kerugian negara,
2. Penggunaan pasal yang tidak tepat atau overcharging,
3. Kesalahan mendasar dalam mengidentifikasi unsur “memperkaya diri sendiri”,
4. Pengabaian bukti meringankan (decharge),
5. Kriminalisasi kebijakan manajerial yang tidak memenuhi unsur pidana.
Apalagi apabila DPR RI melakukan kajian mendalam sebelum memberi pertimbangan kepada Presiden, hal ini merupakan indikasi bahwa terdapat aspek substantif yang perlu diperiksa.
4.2 Pemeriksaan terhadap Hakim : Ranah Komisi Yudisial
Hakim dapat diperiksa oleh Komisi Yudisial apabila ada indikasi:
1. Pelanggaran etik,
2. Konflik kepentingan,
3. Ketidakcakapan dalam menilai bukti,
4. Atau tekanan eksternal.
Pemeriksaan tidak boleh dilakukan hanya karena putusan menimbulkan kontroversi, tapi diperlukan dasar yang objektif dan terukur.
4.3 Pemeriksaan adalah mekanisme safeguard, bukan kriminalisasi balik
Pemeriksaan terhadap aparat penegak hukum bukan tindakan balas dendam politik atau delegitimasi peradilan.
Pemeriksaan adalah mekanisme yang wajar untuk memastikan :
1. Tidak ada penyalahgunaan kewenangan,
2. Metodologi kerugian negara sesuai standar,
3. Pelaksanaan peradilan memenuhi asas fair trial.
Dengan demikian, pemeriksaan justru memperkuat legitimasi lembaga penegak hukum.
5. Rehabilitasi Presiden : Koreksi Hukum atau Penyelamatan Reputasi
Rehabilitasi Presiden dalam kasus ASDP setidaknya menyampaikan dua pesan :
A. Pesan Positif :
Negara mengakui perlunya mekanisme koreksi di luar jalur formal peradilan ketika muncul potensi ketidakadilan.
Baca Juga: R. Mohammad Ali Apresiasi Sikap Tegas Prabowo soal Palestina di PBB
B. Pesan Negatif :
Jika mekanisme koreksi dilakukan melalui keputusan politik, bukan mekanisme peradilan, publik bisa menilai bahwa putusan pengadilan dapat “ditimbang ulang” oleh kekuasaan lain.
Kedua pesan ini menciptakan dilema, tetapi dilema tersebut dapat diselesaikan jika pemerintah dan DPR RI menjadikan rehabilitasi sebagai gagasan awal untuk reformasi, bukan akhir dari proses.
Gagasan reformasi tersebut meliputi:
1. Standardrisasi metodologi kerugian negara,
2. Harmonisasi UU Tipikor dengan UU BUMN,
3. Penghapusan ruang kriminalisasi pada keputusan bisnis yang diambil dengan itikad baik,
4. Penguatan mekanisme pengawasan terhadap lembaga penegak hukum.
6. Rehabilitasi Harus Menjadi Pintu Masuk Reformasi Penegakan Hukum
Rehabilitasi Presiden Prabowo Subianto terhadap terhadap para terdakwa tipikor ASDP mengajarkan tiga hal besar:
Pertama, metodologi kerugian negara dalam kasus BUMN harus direformasi.
Kerugian potensial tidak boleh dijadikan dasar pemidanaan.
Kedua, hukum harus membedakan kesalahan manajerial dari tindak pidana korupsi.
Direksi BUMN tidak boleh dipidana atas risiko bisnis yang wajar.
Ketiga, pemeriksaan terhadap jaksa dan hakim bukan pilihan emosional, tetapi mekanisme akuntabilitas.
Hal ini penting untuk memastikan penegakan hukum tidak menyimpang dari asas keadilan.
Rehabilitasi Presiden seharusnya tidak berhenti sebagai simbol politik, namun harus menjadi momentum memperbaiki kerangka hukum pemberantasan korupsi, khususnya dalam konteks BUMN yang memiliki karakter bisnis tersendiri.
Rehabilitasi Presiden dalam kasus terdakwa tipikor ASDP adalah sinyal penting, keputusan rehabilitasi bisa menjadi ; titik balik perbaikan penegakan hukum, atau sekadar tameng politis untuk menutup kekeliruan sistemis.
Indonesia kini berada di persimpangan, pertaruhan perjalanan bangsa dan negara bukan sekadar nasib tiga mantan pejabat BUMN yang mendapat rehabilitasi presiden pada saat ini, melainkan masa depan tata kelola, kepastian hukum, dan keberanian direksi BUMN dalam mengambil keputusan strategis bagi perusahaan negara, bukan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompok maupun golongannya.
Jika reformasi penegakan hukum khusunya terkait tipikor tidak segera dilakukan, kasus tipikor ASDP hanya akan menjadi episode lain dalam sejarah panjang kriminalisasi kebijakan publik. Namun jika dijadikan momentum pembenahan, rehabilitasi ini dapat menjadi fondasi penting bagi penegakan hukum yang lebih adil, profesional, dan berintegritas.
Penulis : Abdul Rasyid - Sekjen DPP LPKAN Indonesia, Aktivis, Pemerhati Kebijakan Publik, Pendidikan, dan kebudayaan. Aktif menulis isu-isu politik, sosial, dan budaya di berbagai media nasional.
Editor : Redaktur