JAKARTA, HNN – Wacana pemberian tunjangan rumah bagi anggota DPR RI kembali memicu pro dan kontra. Publik mempertanyakan urgensi tunjangan sebesar Rp50 juta per bulan, sementara para wakil rakyat berupaya meyakinkan bahwa kebijakan tersebut bukan bentuk kemewahan, melainkan kebutuhan operasional.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menegaskan tunjangan itu tidak bersifat permanen.
Baca Juga: Adanya Calo di Adminduk Mendapat Tanggapan Serius Dari DPRD Bondowoso
“Tunjangan rumah Rp50 juta hanya diberikan setahun, dari Oktober 2024 hingga Oktober 2025. Dana itu dipakai untuk biaya sewa rumah selama lima tahun masa jabatan 2024–2029. Setelah Oktober 2025, tidak ada lagi pembayaran bulanan,” jelas Dasco.
Pernyataan tersebut disampaikan untuk meredam tudingan bahwa anggota DPR akan menerima Rp50 juta per bulan sepanjang periode kerja mereka. Namun, penjelasan itu justru memicu reaksi keras publik. Aksi unjuk rasa bahkan sempat berujung ricuh.
Mantan anggota DPR RI lima periode, Ridwan Hisjam, menilai keterangan pimpinan DPR justru menambah kebingungan masyarakat.
“Pernyataan Dasco itu blunder. Katanya Rp50 juta per bulan, jika dikalikan 12 bulan jumlahnya Rp600 juta, dan dana itu digunakan untuk lima tahun. Kalau dibagi lima tahun berarti hanya Rp120 juta per tahun. Itu tidak mungkin karena anggaran negara harus sesuai mata anggarannya. Apakah ada tertulis di APBN tunjangan rumah lima tahun sekaligus? Tidak ada. APBN diketok setahun sekali. Jadi ini permainan kata-kata. Tolong jangan membodohi rakyat,” tegas Ridwan.
Ia juga menyinggung pengalamannya ketika rumah dinas DPR pernah direhabilitasi.
“Saat itu anggota DPR disuruh kontrak rumah sendiri, dan negara memberi Rp150 juta per tahun. Itu masuk akal. Sekarang, kalau Rp600 juta dibagi lima tahun berarti Rp120 juta per tahun, artinya tunjangan kontrak rumah turun Rp30 juta per tahun. Ini tidak masuk akal,” katanya.
Ridwan turut mempertanyakan mekanisme jika ada anggota DPR yang meninggal di tengah masa jabatan.
“Kalau uang Rp600 juta sudah dibayar di muka, lalu anggotanya meninggal, siapa yang mengembalikan? Kan nanti ada PAW. Ini persoalan serius dalam tata kelola anggaran,” tambahnya.
Baca Juga: Komjen Polisi Idham Aziz Secara Aklamasi Terpilih Sebagai Kapolri
Menurutnya, persoalan DPR bukan hanya soal komunikasi, tetapi juga kualitas sumber daya manusia para wakil rakyat.
“Ini bukan sekadar masalah komunikasi. Kualitas teman-teman DPR sekarang juga harus ditingkatkan. Mereka harus mau belajar. Kalau tidak, ya sulit. Pernyataan Dasco saya anggap bukan pernyataan DPR secara kelembagaan. Dia Wakil Ketua DPR di bidang tertentu, tapi yang seharusnya memberi penjelasan resmi adalah Ketua DPR, Ibu Puan Maharani. Tugasnya mengklarifikasi dan menyampaikan kepada rakyat secara terang benderang dengan data yang jelas,” ucapnya.
Ridwan menekankan bahwa dasar paling tepat adalah merujuk langsung pada APBN.
“Kalau bicara soal tunjangan, buka saja Undang-Undang APBN 2024–2025. Di situ jelas apakah ada pos anggaran tunjangan rumah atau tidak. Jangan hanya bicara normatif atau retorika. Tugas DPR itu berbicara dengan data dan undang-undang. Kalau asal, bukan menenangkan publik, malah bikin gaduh,” ujarnya.
Sementara itu, suara penolakan juga datang dari masyarakat. Beberapa aktivis dan kelompok mahasiswa menilai tunjangan rumah justru semakin memperlebar jurang ketidakadilan.
“Daripada menganggarkan Rp600 juta untuk kontrak rumah atau kos anggota DPR, lebih baik anggaran itu dipakai untuk merehabilitasi rumah jabatan DPR yang ada di Kalibata. Fasilitas itu memang sudah ada, tinggal diperbaiki saja. Kenapa negara harus keluar biaya besar untuk kontrak rumah individu?” ujar salah satu perwakilan mahasiswa dalam aksi unjuk rasa di Jakarta.
Menurut mereka, langkah memperbaiki rumah jabatan akan jauh lebih transparan dan efisien.
“Kalau rumah jabatan direhab, semua anggota DPR bisa tinggal di situ dengan fasilitas yang sama. Itu lebih adil dan tidak menimbulkan kecurigaan publik. Jangan sampai rakyat melihat DPR hanya memikirkan kenyamanan pribadi, sementara banyak rakyat masih kesulitan mencari rumah layak huni,” tambahnya.
Ridwan Hisjam menutup dengan kritik keras, bahwa banyak anggota DPR kini menjadikan parlemen sebagai sarana mencari pekerjaan, bukan lagi pengabdian.
“Dulu, yang masuk DPR adalah orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya, tidak mencari nafkah di DPR. Sekarang orientasinya banyak berbeda, karena biaya politik sangat tinggi. Demokrasi kita pasca reformasi cenderung liberal, bukan lagi demokrasi Pancasila,” pungkasnya.(red)
Editor : Redaktur