20 Tahun Masalah Laten dan Bangkai Pengelolaan Air Minum Kabupaten Bekasi

Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)

Dua dekade, sumber masalah tidak berpindah

Setiap tahun Bekasi tumbuh; pabrik naik, perumahan menjamur, penduduk membengkak. Tetapi air bersih tetap menjadi kemewahan. Dan selama 20 tahun, masalah PDAM Tirta Bhagasasi tidak pernah benar-benar berubah, yakni keuangan rapuh, kinerja stagnan, aset tak jelas, tarif tak menutup biaya, hingga kualitas air yang kadang lebih mirip es teh tawar berdebu daripada air minum.

Masalahnya bukan teknis, ini masalah tata kelola, legalitas, dan komitmen menyediakan layanan publik.

Dan semuanya sudah lama diperingatkan BPK, berulang, bahkan sejak tahun-tahun ketika Bekasi masih lebih dikenal sebagai “kota buruh”, bukan megapolitan industri.

Masalah prinsip dan laten, 20 tahun tidak pernah putus

1. Struktur kepemilikan dan aset yang tidak tuntas selama lebih dari 20 tahun, BPK secara konsisten mencatat persoalan bahwa aset PDAM tidak seluruhnya tercatat pada Pemkab/Pemkot Bekasi.

Banyak jaringan pipa, IPA, reservoir, hingga sambungan pelanggan tidak jelas status kepemilikannya. Penyertaan modal pemerintah daerah tidak terdokumentasi secara sempurna.

BKP sebenarnya sudah mengingatkan sejak awal 2000-an bahwa model pemilikan bersama Kabupaten–Kota Bekasi menimbulkan tumpang tindih: “Inkonsistensi pencatatan penyertaan modal dan penguasaan aset menghambat akurasi pelaporan keuangan.”, disebut dalam ringkasan LHP BPK, berulang sejak 2005–2023.

Model kepemilikan ganda ini adalah akar kekacauan administratif yang tidak pernah selesai.

2. Non-revenue water (NRW) tinggi, 30–40% dalam satu dekade. Meski tidak selalu diumumkan ke publik, BPK dalam beberapa pemeriksaan air minum Kabupaten/Kota mencatat pola umum PDAM:

  • Kebocoran fisik tinggi.
  • Pencurian air.
  • Meter pelanggan rusak.
  • Tekanan air tidak stabil.

Khusus Bekasi, angka NRW secara historis berada pada kisaran 30–40%, itu jauh di atas standar WHO 20%. NRW bukan sekadar kebocoran teknis; ini kebocoran pendapatan. Artinya: air yang diproduksi dibayar dengan biaya operasional tetapi hilang sebelum menjadi uang.

Inilah mengapa PDAM sulit sehat secara finansial meski pelanggan terus bertambah.

3. Tekanan operasional: tarif tidak menutup biaya, BPK beberapa kali menegur PDAM di Indonesia, termasuk Bekasi, karena pola yang sama yakni:

  • Tarif tidak menutup full cost recovery.
  •  Tarif sosial terlalu murah.
  • Penyesuaian tarif ditahan pemerintah daerah (motif politik)

Dampaknya cashflow PDAM defisit modal kerja
Biaya listrik, bahan kimia, dan maintenance naik, tetapi tarif air tidak naik. PDAM menunda investasi dan rehabilitasi jaringan

BPK menegur pola ini setidaknya di 2010, 2015, 2021, 2023, saat menilai kesehatan BUMD air minum.

4. Permodalan lemah dan ketergantungan pada utang. LHP BPK pada sektor air minum di Jawa Barat menyampaikan hal yang konsisten:

  • Kinerja keuangan PDAM masuk kategori kurang sehat.
  • Rasio lancar rendah.
  • Solvabilitas tinggi
  • Tidak memiliki dana cadangan memadai

Catatan ini sesuai dengan gejala operasional Tirta Bhagasasi selama 2015–2024 yakni:

  • Capex air baku minim.
  • Jaringan pipa tua tidak diganti.
  • Kebutuhan investasi tidak terpenuhi.
  • Tunggakan kewajiban dividen ke Pemda.

5. Pengendalian internal lemah, ini catatan laling konsisten dari BPK*

Dalam LHP 20 tahun terakhir, BPK sering merekomendasikan:

  • Perbaikan SOP pengelolaan aset.
  • Pembukuan inventarisasi ulang.
  • Penguatan sistem pelaporan keuangan.
  • Penertiban pencatatan pelanggan

Masalah-masalahnya seperti:

  • Meter air tidak terkalibrasi.
  • Pencatatan pemakaian tidak akurat.
  • Data pelanggan tidak mutakhir

Itu semua adalah isu yang hampir menjadi “tradisi tahunan”.

6. Kualitas air dan operasional IPA, laporan media terbuka (2024–2025) dan audit operasional sektor air menyoroti:

  • Air keruh, endapan tinggi, distribusi terganggu dan standar baku mutu tidak stabil.

BPK menegur PDAM berkali-kali agar: meningkatkan laboratorium pengujian kualitas, memperbaiki intake dan filtrasi dan melaporkan hasil uji berkala.

Tetapi masalah kembali muncul, utu terutama pada wilayah pelanggan padat.

Rangkuman temuan BPK 20 tahun konsisten

Berikut temuan BPK yang valid secara hukum (disederhanakan agar aman, tanpa menuduh aktor tertentu):

1. Ketidaksesuaian pelaporan keuangan, BPK mencatat pola:

  • Rekonsiliasi aset tidak lengkap.
  • Penyertaan modal tidak sesuai aturan.
  • Nilai aset tidak wajar/tidak mutakhir.
  • Laporan kinerja tidak memenuhi standar Kemenkeu/KemenPUPR

2. Aset tak tercatat dan tidak jelas penguasaannya, sering ditemukan:

  • Pipa yang berada di tanah pihak ketiga tanpa perjanjian.
  • Aset yang tidak ditemukan saat inventarisasi.
  • Aset yang digunakan tapi tidak tercatat di neraca.
    Ini merugikan pemerintah daerah, karena aset BUMD adalah bagian dari kekayaan daerah.

3. Kelemahan tata kelola air baku, BPK berulang menilai PDAM Bekasi:

  •  Tidak memiliki cadangan air baku jangka panjang.
  • Belum memenuhi standar kapasitas produksi vs jumlah pelanggan.
  • Investasi IPA tertinggal dibanding pertumbuhan penduduk.

4. Rendahnya realisasi investasi, direkomendasi BPK setiap periode hampir identik: “Segera tingkatkan investasi jaringan dan produksi air.” “Segera susun masterplan air minum yang dapat dieksekusi.”

Tetapi capaian investasi tetap rendah akibat keterbatasan modal, tarif yang tidak mencukupi dan ketidakpastian kepemilikan aset Kabupaten-Kota.

Rekomendasi inti BPK 2005-2025

1. Selesaikan status kepemilikan dan aset, maka Pemkab Bekasi harus menuntaskan:

  • Siapa pemilik aset apa.
  • Siapa harus investasi apa.
  • Siapa menanggung risiko apa.
    Tanpa ini, PDAM tidak akan pernah bankable.

2. Reformasi tarif air, BPK menyarankan:

  • -Penyesuaian tarif bertahap.
    - Menjamin tarif mencerminkan full cost recovery.
  • Perlindungan pelanggan miskin melalui skema sosial, bukan menekan tarif bisnis

3. Pembenahan aset dan inventarisasi total, direkomendasi tahunan yang tidak berubah: “Lakukan inventarisasi ulang seluruh aset PDAM dan tetapkan nilai wajar.”

4. Penurunan NRW target idealnya turun dari 30–40% menjadi 20% dalam 5 tahun.

5. Modernisasi sistem jeuangan dan pelanggan, BPK minta digitalisasi penuh:

  • Pencatatan meter.
  • Pembayaran.
  • Data pelanggan.
  • Dashboard kinerja.

IAW: Kenapa masalah ini tidak selesai?

Karena air minum di Kabupaten Bekasi selama 20 tahun diperlakukan seperti: alat politik, bukan layanan publik, bukan korporasi profesional, dan bukan aset strategis daerah.

Setiap pergantian kepala daerah, status PDAM berubah dari menguat – melemah – diperbaiki – lalu ricuh lagi.

Kepemilikan bersama Kabupaten-Kota adalah bom waktu administratif yang tak pernah dijinakkan. Hasilnya:

  1. PDAM tidak bisa ekspansi.
  2. Tidak bisa pinjam dana besar.
  3. Tidak bisa konsolidasi aset.
  4. Tidak bisa mengendalikan NRW.
  5. Tidak bisa modernisasi penuh.
  6.  Tidak bisa memberikan air bersih stabil.

Ini bukan salah satu direksi, bukan salah satu upati/alikota. Ini kesalahan sistem tata kelola selama puluhan tahun.

Bekasi perlu reset total, bukan temporary fix

Air bersih bukan komoditas; ini kebutuhan dasar. Jika Bekasi ingin keluar dari 20 tahun ke belakang, maka harus:

  1. Tuntaskan status kepemilikan Kabupaten-Kota.
  2. Revaluasi aset lengkap.
  3. Terapkan tarif rasional.
  4.  Investasi IPA baru.
  5.  Turunkan NRW secara agresif.
  6.  Bangun sistem audit berbasis teknologi.
  7. Pastikan direksi profesional & bebas tekanan politik

Tanpa reset total, Bekasi akan mengulangi siklus yang sama: masalah air, masalah kualitas, masalah utang, masalah aset, masalah audit dan masalah pelanggan.

Dan 20 tahun lagi kita akan menulis laporan yang sama, hanya lebih panjang dan lebih mahal.

Editor : Redaktur