Oleh : Abdul Rasyid
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan oleh Suhartoyo Ketua MK, pada sidang pleno, Kamis 13 November 2025 menjadi titik balik penting dalam relasi antara Kepolisian Negara RI (Polri) dan birokrasi sipil.
Baca Juga: Ilmu Akademik, Skill, dan Peradaban Digital : Menjawab Tantangan Zaman
Setelah bertahun-tahun muncul praktik penempatan anggota Polri aktif sebagai pejabat publik ; mulai dari kementerian, lembaga negara, hingga penjabat kepala daerah, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia akhirnya menegaskan satu hal yang sangat jelas : "Polisi aktif wajib mengundurkan diri atau pensiun apabila ingin menduduki jabatan sipil."
UUD 1945 memberi Polri mandat sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban. Tidak ada mandat eksplisit untuk menjalankan fungsi pemerintahan sipil. Artinya, penempatan polisi di jabatan publik harus dipahami sebagai penugasan khusus, bukan fungsi utama.
Di sisi lain, ASN didesain sebagai penggerak birokrasi yang netral, profesional, dan tidak terikat agenda institusi lain. Ketika dua mandat ini bertemu di satu meja, potensi gesekan tak bisa dihindari.
Putusan ini membatalkan frasa dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri yang selama ini membuka celah “penugasan Kapolri”. Celah itu memungkinkan polisi aktif tetap menjabat posisi sipil tanpa melepas status keanggotaannya. Praktik tersebut bukan hanya menimbulkan perdebatan politik, tetapi juga menabrak prinsip dasar tata negara: netralitas aparatur, pembagian fungsi negara, dan kepastian hukum.
Putusan MK Mempertegas Batas, Meperjelas Kewenangan
Pertama, putusan MK memulihkan kepastian hukum. Selama bertahun-tahun, norma dalam penjelasan UU Polri dibiarkan multitafsir. Di satu sisi, undang-undangnya mewajibkan pengunduran diri. Di sisi lain, penjelasannya justru memberi pengecualian. Inilah yang dibatalkan MK karena dianggap menciptakan ketidakpastian yang berpotensi merugikan warga negara dan membuka ruang penyalahgunaan kewenangan.
Kedua, putusan MK menjaga netralitas dan profesionalisme. Polri adalah institusi penegak hukum dengan kewenangan koersif negara. Menempatkan anggota Polri aktif dalam jabatan sipil berpotensi memunculkan konflik kepentingan, terutama jika jabatan itu berkaitan dengan pengambilan keputusan politik atau pengelolaan anggaran. MK ingin memastikan bahwa kekuatan koersif negara tidak masuk ke ranah administratif tanpa batas.
Ketiga, putusan MK memperkuat pemisahan fungsi. Konstitusi membedakan antara lembaga keamanan dan lembaga pemerintahan sipil. Ketika peran itu tumpang tindih, risiko dominasi lembaga keamanan dalam manajemen pemerintahan sangat besar. Putusan MK ini mengembalikan batas-batas itu secara tegas.
Polisi Aktif Tidak Boleh Menjabat Jabatan Sipil
Putusan Mahkamah Konstitusi jelas dan tegas : Anggota Polisi aktif tidak boleh menjabat jabatan sipil, kecuali mereka mundur atau pensiun terlebih dahulu dari anggota kepolisian. Tidak ada lagi mekanisme “penugasan Kapolri” yang selama ini dijadikan legal basis alternatif. Putusan MK bersifat final dan mengikat, dan berlaku sejak dibacakan.
Dengan demikian, jika ada polisi aktif yang tetap menduduki jabatan sipil setelah putusan MK, maka:
1. Norma yang melandasi pengangkatannya menjadi tidak sah.
2. Keputusan administrasi yang mengangkatnya berpotensi cacat hukum.
3. Ada kemungkinan kerugian keuangan negara karena gaji dan fasilitas yang diterima tidak didasarkan pada dasar hukum yang benar.
4. Potensi konflik kepentingan meningkat, terutama pada jabatan strategis seperti penjabat kepala daerah atau posisi pengambil keputusan anggaran.
Jika ada anggota Polisi aktif yang tetap menduduki jabatan sipil atau jabatan publik setelah putusan MK, maka merupakan pelanggaran bukan hanya masalah teknis administratif, tetapi menyentuh ranah konstitusional.
Bagaimana dengan Jabatan yang Sudah Terlanjur Diisi Polisi Aktif
Inilah yang menjadi tantangan tersendiri. Putusan MK sendiri tidak mengatur masa transisi secara eksplisit. Tetapi banyak pakar menilai, setelah putusan dibacakan, status normanya langsung berlaku. Artinya, pemerintah perlu bergerak cepat sambil tetap memperhatikan stabilitas birokrasi.
Langkah paling masuk akal adalah :
1. Melakukan audit nasional untuk mendata seluruh polisi aktif yang kini menjabat jabatan sipil;
2. Menarik anggota Polri aktif secara bertahap tetapi tegas, misalnya dalam tenggat 30–60 hari;
3. Memberi opsi pensiun dini atau pengunduran diri bagi anggota Polri aktif yang ingin tetap berada dalam jabatan sipil.
Baca Juga: Ilmu Akademik, Skill, dan Peradaban Digital : Menjawab Tantangan Zaman
Pendekatan ini memberikan kepastian hukum sekaligus menghindari gejolak administratif di instansi.
Putusan MK Momentum Penting Reformasi Polri
Putusan MK ini tidak berdiri sendiri. Ia muncul di tengah diskusi panjang tentang perlunya Polri kembali fokus pada profesionalisme penegakan hukum, bukan politik kekuasaan.
Ketika anggota Polri aktif masuk ke ranah administrasi sipil, garis batas antara law enforcement dan civil administration menjadi kabur. Dalam konteks demokrasi, kaburnya batas ini berbahaya.
Sebagian kalangan menilai praktik penempatan polisi aktif di jabatan sipil selama ini adalah warisan masa lalu, masa ketika kekuasaan militer dan kepolisian sangat dominan di ruang sipil. Putusan MK memberikan kesempatan untuk menyelesaikan warisan itu secara tuntas.
Jika pemerintah melaksanakan putusan ini dengan baik, publik akan melihat Polri semakin profesional, netral, dan fokus kepada tugas inti: menjaga keamanan, menegakkan hukum, dan melindungi masyarakat.
Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?
Ada tiga langkah kunci yang harus dilakukan pemerintah :
1. Menyusun pedoman pelaksanaan yang tegas.
KemenPANRB, Polri, dan BKN perlu mengeluarkan regulasi teknis agar tidak ada lagi tafsir yang membingungkan.
Baca Juga: R. Mohammad Ali Apresiasi Sikap Tegas Prabowo soal Palestina di PBB
2. Melakukan transisi yang transparan.
Publik perlu tahu siapa saja pejabat sipil yang masih berstatus polisi aktif dan bagaimana rencana penarikannya.
3. Memberi penghargaan karier bagi anggota Polri yang memilih jalur sipil.
Misalnya melalui mekanisme pensiun dini, pelatihan transisi karier, dan pengakuan masa dinas.
Dengan cara ini, implementasi putusan MK tidak sekadar bersifat koersif, tetapi memberikan solusi bagi semua pihak.
Taat Konstitusi, Jaga Netralitas
Putusan MK 114/PUU-XXIII/2025 adalah penegasan ulang kompas konstitusi kita : Polri harus netral, profesional, dan tidak terlibat dalam jabatan sipil kecuali telah keluar dari dinas.
Setiap langkah pemerintah dan Polri dalam menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi bukan hanya soal kepatuhan terhadap hukum, tetapi juga komitmen pada demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang sehat.
Kini, bola ada di tangan pemerintah. Ketaatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi bukanlah pilihan, tetapi kewajiban yang harus dilaksanakan secara konstitusional.
Penulis : Abdul Rasyid - Sekjen DPP LPKAN Indonesia, Aktivis, Pemerhati Kebijakan Publik, Pendidikan, dan kebudayaan. Aktif menulis isu-isu politik, sosial, dan budaya di berbagai media nasional.
Editor : Redaktur