Oleh: HRM. Khalilur R. Abdullah Sahlawiy (Gus Lilur)
Founder & Owner BAPANTARA Grup
Baca Juga: BULLYING NAN SOPAN
Sepuluh tahun lalu, saya menolak dagang beras. Hari ini, saya justru membangun ekosistem pangan nasional.
Saya pertama kali menjejakkan kaki di Vietnam pada tahun 2013. Dua tahun kemudian, pada 2015, saya mulai menggarap usaha di negeri ini. Saat itu, banyak kawan menawarkan peluang bisnis beras. Dengan ringan dan sambil tertawa, saya potong pertanyaan mereka yang belum selesai:
Saya ini orang dusun. Rumah saya dikelilingi sawah di segala penjuru; barat, timur, utara, dan selatan. Semuanya milik eyang saya. Saya jenuh dengan hal-hal yang berbau sawah."
Begitulah saya menanggapi tawaran bisnis beras sepuluh tahun silam di Vietnam. Namun hidup, seperti halnya perjalanan, membawa kita pada arah yang tak selalu kita rencanakan.
Kembali pada Akar, Menyambut Masa Depan
Hari ini, di tahun 2025, saat saya sedang menuntaskan perizinan untuk budidaya lobster di Vietnam, ajakan berdagang beras kembali datang. Tapi kali ini berbeda: datang dari para pengusaha besar Vietnam yang juga bermain di sektor batubara dan perikanan. Tawaran ini datang dari lingkungan bisnis yang mapan dan terpercaya—sebuah jaringan yang sulit saya tolak:
* Perdagangan Batubara
* Perdagangan Benih Bening Lobster
* Perdagangan Beras
Vietnam dan Indonesia memiliki tiga jalur perdagangan utama: Pertanian (beras), Pertambangan (batubara), dan Perikanan (lobster). Ketiganya menjadi simpul kekuatan yang saling melengkapi.
Membedakan Beras: CBP vs Beras Khusus
Sebagai petani tulen anak petani, cucu petani, dan cicit tuan tanah desa saya tak bisa diam saat melihat nasib petani tergilas oleh kebijakan impor. Saya marah dan kecewa tiap kali harga gabah anjlok saat panen raya.
Saya anti impor beras, khususnya beras CBP (Cadangan Beras Pemerintah)
Impor CBP, yang dikelola BULOG, nyaris selalu datang di saat yang tidak tepat: saat petani panen. Itu artinya: menyakiti perut rakyat sendiri.
Tapi tidak dengan beras khusus. Ini adalah kategori beras kualitas premium dengan harga tinggi (Rp 25.000–Rp 65.000 per kilogram). Beras ini bukan pesaing petani lokal, karena hanya sedikit petani Indonesia yang menanam varietas ini.
Saya akan berdagang beras khusus, bukan CBP. Ini jalan tengah: tetap membangun ekosistem pangan tanpa menghancurkan harga gabah petani Indonesia.
Untuk diketahui, kuota impor beras khusus RI tahun 2025 mencapai 420.000 ton. Sebuah peluang besar, yang jika dikelola dengan hati, bisa berdampak positif bagi industri dan petani kita.
Survei ke Jantung Pertanian Vietnam
Dalam perjalanan bisnis kali ini, saya mengunjungi tiga provinsi lumbung padi utama di Vietnam bagian selatan:
* Dong Thap
* An Giang
* Can Tho
Saya melihat ribuan pabrik padi berdiri masif di sana. Sebuah pemandangan yang menyadarkan: Indonesia harus membangun hal serupa di setiap kabupaten. Kita harus cetak sawah baru, seperti yang dilakukan beberapa konglomerat tanah air di Papua.
Sebetulnya, tekad saya menjadi petani besar sudah muncul sejak tujuh tahun lalu. Tapi waktu dan fokus saya sempat terserap di tambang dan budidaya perikanan. Kini, lewat perjalanan ini, niat itu menguat kembali lebih matang dan sistematis.
Mimpi Besar: BAPANTARA Grup
Maka lahirlah BAPANTARA Grup Bandar Pangan Nusantara. Sebuah induk usaha yang membawahi 18 anak perusahaan yang akan segera beroperasi di berbagai sektor pangan nasional.
BAPANTARA bukan sekadar korporasi, tapi sebuah gerakan. Visi kami: tak boleh ada rakyat Indonesia yang kelaparan karena tak mampu membeli beras. Di negeri agraris ini, keadilan sosial harus diwujudkan dari meja makan dimulai dari sepiring nasi.
Sebuah Doa dan Tekad
Bismillah.
Langkah ini saya mulai bukan hanya dengan hitungan bisnis, tetapi juga dengan niat membangun peradaban pangan.
Saya percaya: kemajuan bangsa ini akan lahir dari lumbung-lumbung padi yang kita hidupkan sendiri.
Salam Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Editor : Redaktur