Reformasi TNI-Polri Menyelamatkan Demokrasi dari Bayang-Bayang Otoritarianisme Pemerintahan Prabowo

Reformasi TNI-Polri Menyelamatkan Demokrasi dari Bayang-Bayang Otoritarianisme Pemerintahan Prabowo

Oleh : Abdul Rasyid

Baca Juga: Dampak Transfer Data Pribadi Warga Indonesia ke Negara Lain (AS)

Reformasi bidang pertahanan, keamanan dan ketertiban di Indonesia tidak bisa dipandang sebagai urusan internal militer dan kepolisian semata. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan demokrasi dan penegakan konstitusi.

Dua peristiwa besar dalam sejarah aparatur keamanan kita menjadi titik refleksi penting : rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) TNI AD, Letjen TNI Djamari Chaniago (sekretaris DKP) untuk memberhentikan Prabowo Subianto dari Jabatan Pangkostrad, Komjen Polisi Ahmad Dofiri Ketua Sidang Komisi Kode Etik sekaligus Kepala Badan Intelijen dan Keamanan (Kabaintelkam) untuk memecat Ferdy Sambo - PTDH dari anggota Polri waktu menjabat Kadiv Propam Polri.

Dua kasus berbeda, namun sama-sama menegaskan pentingnya integritas, akuntabilitas, dan profesionalisme dalam tubuh TNI dan Polri. Keduanya menunjukkan bahwa mekanisme etik dan akuntabilitas tidak boleh hanya berhenti di atas kertas, melainkan harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Sebab, tanpa kontrol moral, institusi sebesar TNI dan Polri bisa kehilangan marwahnya, bahkan berpotensi menjadi ancaman bagi demokrasi di Negara Republik Indonesia.

Demokrasi sebagai Fondasi Negera Hukum

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang menempatkan kedaulatan di tangan rakyat. Dalam kerangka negara hukum (rechtsstaat), demokrasi menekankan, bahwa :
1. Rakyat adalah sumber legitimasi bagi kekuasaan negara.
2. Kekuasaan dibatasi melalui konstitusi dan hukum, bukan melalui kehendak penguasa.
3. Setiap kebijakan negara harus mengutamakan prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).

Artinya, negara hukum demokratis tidak hanya berlandaskan aturan formal, tetapi juga pada nilai substantif ; keadilan, kesetaraan, dan keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan.

Supremasi Sipil Dalam Negara Demokrasi dan Hukum

Dalam sistem demokrasi konstitusional, alat pertahanan dan keamanan tidak boleh berdiri di atas hukum. Sebaliknya, mereka harus tunduk pada kendali sipil yang sah.

Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan negara Indonesia adalah negara hukum.

Artinya, kekuatan senjata dan kewenangan hukum bukan milik individu atau institusi, melainkan hanya sah bila dijalankan sesuai mandat konstitusi.

Supremasi sipil menegaskan, bahwa kekuasaan tertinggi di dalam negara berada pada otoritas sipil yang dipilih rakyat, bukan pada militer atau aparat bersenjata, agar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Menjaga agar demokrasi tidak terdistorsi oleh dominasi kekuatan bersenjata.
2. Menjamin bahwa militer, kepolisian, dan aparat penegak hukum hanya berfungsi sebagai alat negara, bukan aktor politik independen.
3. Menegaskan bahwa pemerintahan sipil bertanggung jawab kepada rakyat melalui mekanisme pemilu, parlemen, dan hukum.

Dalam konteks Indonesia, supremasi sipil termaktub dalam UUD 1945, terutama melalui prinsip pemisahan fungsi militer (TNI sebagai alat negara dalam pertahanan, Polri sebagai alat negara dalam menjaga keamanan, ketertiban, melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan aparat penegak hukum)

Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas TNI dan Polri, DPR sebagai lembaga legislatif, serta Menko Polkam sebagai pengendali kebijakan politik dan keamanan, memiliki tanggung jawab besar memastikan bahwa supremasi sipil ditegakkan. Tanpa itu, reformasi hanya akan menjadi slogan kosong.

Demokrasi, Supremasi Sipil, dan Negara Hukum

Keterkaitan Demokrasi, Supremasi Sipil, dan Negera Hukum dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Demokrasi memberikan legitimasi kepada rakyat untuk memilih pemimpin sipil.
2. Supremasi sipil memastikan aparat negara tunduk pada otoritas sipil, bukan sebaliknya.
3. Negara hukum menegakkan aturan yang membatasi kekuasaan, sehingga baik sipil maupun aparat wajib tunduk pada hukum.

Tanpa supremasi sipil, demokrasi akan mudah diganggu oleh intervensi militer atau aparat. Sebaliknya, tanpa negara hukum, supremasi sipil bisa berubah menjadi otoritarianisme sipil. Maka, demokrasi, supremasi sipil, dan negara hukum adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Pertanyaannya kini, apakah pemerintah akan menjawab krisis ini dengan keberanian melakukan reformasi TNI dan Polri, atau justru membiarkannya menjadi lonceng kematian bagi demokrasi di Republik Indonesia ?

TNI : Dari Dwifungsi ke Alat Pertahanan Negara

Sejarah mencatat bahwa militer Indonesia sempat menjalankan dwifungsi ABRI, di mana TNI tidak hanya berperan dalam pertahanan tetapi juga dalam ranah politik dan pemerintahan.

Baca Juga: Dewan Pembina LPKAN: Pengelolaan Wilayah Pesisir Harus Kedepankan Public Acces

Masa itu melahirkan banyak distorsi dalam kehidupan bernegara, termasuk berkurangnya kontrol sipil atas militer.

Reformasi 1998 menghapus dwifungsi ABRI, memisahkan TNI dan Polri, serta menegaskan kembali TNI sebagai alat pertahanan negara.

Konstitusi menggariskan tugas TNI dalam Pasal 10 UUD 1945, sedangkan UU No. 34 Tahun 2004 memperjelas bahwa TNI berfungsi untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, dan melindungi segenap bangsa dari ancaman militer.

Namun, reformasi belum selesai. Masih ada tarik-menarik kepentingan politik terhadap TNI, baik melalui rekrutmen, promosi jabatan, maupun penugasan di luar fungsi pertahanan. Padahal, Pasal 39 UU No. 34 Tahun 2004 sudah menegaskan larangan prajurit TNI terlibat dalam politik praktis.

Netralitas politik adalah syarat mutlak agar TNI tetap dipercaya rakyat sebagai benteng pertahanan bangsa. Reformasi TNI harus diarahkan pada tiga agenda utama:
(1) penerapan meritokrasi dalam rekrutmen dan promosi,
(2) modernisasi alutsista dan pendidikan, serta
(3) penguatan doktrin pertahanan negara.

Dengan tiga poin tersebut, TNI bisa benar-benar kembali ke khitahnya ; alat pertahanan, bukan alat politik.

Polri : Dari Penguasa Jalanan ke Pelayan Masyarakat

Jika TNI menghadapi tantangan netralitas politik, maka Polri menghadapi masalah krisis integritas.

Sejumlah kasus pungutan liar, gratifikasi, suap, dan nepotisme telah mencoreng citra kepolisian. Puncaknya adalah kasus Ferdy Sambo, yang bukan hanya kriminal, tetapi juga menunjukkan bagaimana kuasa aparat bisa disalahgunakan secara sistematis.

Secara hukum, kedudukan Polri jelas diatur dalam Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, yang menegaskan bahwa Polri adalah alat negara yang berfungsi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Hal ini diperkuat oleh UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun dalam praktik, citra Polri sering kali berlawanan dengan mandat konstitusi. Alih-alih hadir sebagai pelindung masyarakat, sebagian aparat justru dipersepsikan sebagai “penguasa jalanan” yang lebih sibuk mengatur ketimbang melayani.

Baca Juga: Jelang Pilkada Serentak, LPKAN: Waspadai Penggunaan Bansos oleh Incumbent

Menjawab hal tersebut, Reformasi Polri harus bertumpu pada dua hal :
(1) penegakan integritas moral melalui kode etik profesi (Perkap No. 14 Tahun 2011) dan sistem pengawasan yang ketat, serta
(2) pembenahan sistem kelembagaan agar promosi dan jabatan benar-benar berdasarkan merit, bukan kedekatan atau transaksi.

Polisi ideal bukanlah mereka yang ditakuti masyarakat, melainkan yang dipercaya dan dihormati karena profesionalisme serta dedikasinya dalam menjaga keadilan sosial.

Reformasi TNI - Polri Momentum Perubahan - "Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju"

Saat ini, bangsa Indonesia memiliki momentum untuk mempercepat reformasi bidang pertahanan, keamanan dan ketertiban.

Dalam sejarah, Jenderal TNI (Purn.) Djamari Chaniago yang kini menjabat Menkopolkam RI, dan Jenderal Polisi (Purn.) Ahmad Dofiri yang kini dipercaya sebagai Penasehat Khusus Presiden bidang Keamanan, Ketertiban Masyarakat dan Reformasi Polri, dua jenderal tersebut memiliki rakam jejak dan peran penting dalam penegakan profesi dan etik di TNI dan Polri. Kehadiran figur seperti mereka dapat menjadi simbol dan harapan rakyat terhadap pemerintahan Prabowo Subianto, bahwa reformasi TNI-Polri bukan sekadar wacana, tetapi agenda nyata yang harus dijalankan secara konsisten.

Reformasi TNI-Polri harus dilihat sebagai bagian dari upaya lebih besar ; membangun negara hukum yang demokratis. Tanpa aparat yang profesional, netral, dan berintegritas, sulit membayangkan demokrasi bisa bertahan. Sebab, sejarah di berbagai negara menunjukkan bahwa militer atau polisi yang lepas kendali sering kali menjadi pintu masuk otoritarianisme.

Reformasi TNI dan Polri bukan hanya soal disiplin internal atau tata kelola kelembagaan, melainkan soal masa depan demokrasi Indonesia. Kedua institusi ini adalah pilar utama dalam menjaga stabilitas politik, keamanan, dan ekonomi. Tetapi mereka hanya akan benar-benar menjadi pilar demokrasi bila kembali ke khitah ; netral, profesional, dan berintegritas.

Tanpa TNI yang netral dan Polri yang berintegritas, cita-cita mewujudkan keadilan, kedaulatan, dan kesejahteraan sosial sebagaimana diamanatkan UUD 1945 hanyalah utopia.

Reformasi TNI dan Polri menjadi momentum yang harus dijawab dengan keberanian politik, ketegasan hukum, dan komitmen moral pemerintahan Prabowo Subianto.

Saatnya TNI dan Polri kembali ke khitahnya, menjadi pelindung bangsa, bukan alat kekuasaan dalam rangka meneguhkan komitmen hubungan negara / pemerintahan dengan masyarakat / rakyat dalam bingkai demokrasi dan supremasi sipil di negara hukum Republik Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, sebagaimana tema besar yang menjadi jargon pemerintahan Prabowo Subianto pada peingatan kemerdekaan RI ke 80 tahun 2025 yang lalu ; Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju"


Penulis : Abdul Rasyid Sekjen DPP LPKAN Indonesia, Aktivis dan Pemerhati Kebijakan Publik.

Editor : Redaktur