SURABAYA, HNN – Puluhan orang ditangkap usai aksi unjuk rasa di Jawa Timur akhir Agustus lalu. Ombudsman RI Jatim mendesak polisi segera mengumumkan status hukum mereka untuk mencegah maladministrasi.
“Kepolisian seharusnya membuka data siapa saja yang ditangkap, serta menjelaskan status mereka. Kami tentu tidak ingin ada maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang dalam penegakan hukum kasus unjuk rasa anarkis,” tegas Kepala Ombudsman RI Jatim, Agus Muttaqin, Jumat (12/9).
Baca juga: Polda Jatim Ungkap Pengoplos Gas Subsidi, Tersangka Terancam 6 Tahun Penjara
Sejak Senin (8/9) hingga Kamis (11/9), Ombudsman Jatim melakukan pemantauan terhadap pengamanan dan penanganan aksi massa di berbagai daerah. Data yang dihimpun mencatat kerugian aparat, antara lain satu personel Polrestabes Surabaya yang masih dirawat akibat luka, satu mapolsek serta 14 pos polisi dibakar di Surabaya, kantor Samsat dan dua pos polisi dibakar di Kediri, tiga pos polisi dirusak di Malang, serta satu pos polisi dibakar di Sidoarjo.
Ombudsman juga berkoordinasi dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya yang selama ini mengadvokasi para terduga pelaku. Dari posko pengaduan LBH, masuk banyak laporan penangkapan orang-orang yang dicurigai terlibat aksi anarkis.
“Justru kami mengetahui adanya penangkapan dari informasi teman-teman LBH, bukan dari polisi,” ungkap Agus.
Berdasarkan data LBH, setidaknya ada enam orang ditahan di Polda Jatim, 33 di Polrestabes Surabaya, 12 di Polres Blitar Kota, serta masing-masing satu orang di Polres Kediri Kota, Jember, dan Tulungagung. Sebagian dari mereka adalah pelajar. Bahkan, pada Kamis malam (11/9) tercatat ada tambahan tujuh orang ditangkap di Jember, termasuk dua anak di bawah umur.
Menurut laporan, sebagian penangkapan dilakukan tanpa surat resmi dan pemeriksaan dilakukan tanpa pendampingan penasihat hukum. Selain itu, sejumlah ponsel milik warga yang ditangkap ikut disita, meski sebagian dari mereka sudah dilepaskan.
Baca juga: 12 Pencuri Motor Berbagai Wilayah Diamankan Polda Jatim
Agus menilai, praktik-praktik tersebut membuka peluang terjadinya maladministrasi. “Mulai dari penahanan melebihi 1x24 jam, penangkapan tanpa surat perintah, pembatasan akses informasi identitas korban, pemeriksaan tanpa pendampingan, hingga penyitaan tanpa prosedur,” katanya.
Untuk itu, Ombudsman mendorong Polda Jatim membuka hotline pengaduan agar masyarakat atau keluarga korban bisa melapor jika mendapat perlakuan sewenang-wenang.
Sementara itu, Komisioner Komisi Informasi (KI) Provinsi Jawa Timur, M. Sholahuddin, menegaskan transparansi merupakan pilar demokrasi yang dijamin konstitusi. “Publik memiliki hak untuk mengetahui proses penegakan hukum, apalagi menyangkut kasus yang berdampak pada kerugian publik seperti pembakaran fasilitas umum,” ujarnya.
Baca juga: Modus Ormas Fiktif, Dua Mahasiswa Peras ASN di Surabaya, Ditangkap Polda Jatim
Menurut Sholahuddin, polisi wajib menyampaikan informasi terkait jumlah tersangka, jenis pelanggaran, serta tahapan proses hukum yang sedang berjalan. Meski begitu, ia mengingatkan ada batasan sesuai Pasal 17 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yakni informasi yang berpotensi menghambat penyidikan atau melanggar privasi individu dapat dikecualikan secara ketat dan terbatas.
“Karena itu, kepolisian sebaiknya membuka informasi secara bertahap sesuai perkembangan kasus, sekaligus memberi penjelasan yang kuat jika ada data yang tidak bisa dibuka. Alasan tersebut harus berdasarkan aturan hukum, bukan sekadar alasan keamanan,” jelasnya.
Sholahuddin menambahkan, polisi juga berkewajiban memastikan keluarga para terduga pelaku mendapat informasi jelas mengenai keberadaan dan status hukum anggota keluarganya. “Prinsipnya, informasi harus dibuka kecuali ada alasan hukum yang sah untuk menutupnya. Kami akan terus memantau agar proses ini berjalan transparan dan akuntabel demi kepentingan publik,” pungkasnya. (d43n9)
Editor : Redaktur