Perkembangan Internet Suburkan Kultur Berdemokrasi Generasi Milenial

avatar Harian Nasional News
Acara diskusi Milenal Bincang Politik bertajuk Struktur dan Kultur E-Democracy Indonesia, yang diselenggarakan di Jakarta, baru-baru ini.
Acara diskusi Milenal Bincang Politik bertajuk Struktur dan Kultur E-Democracy Indonesia, yang diselenggarakan di Jakarta, baru-baru ini.
IKLAN PON XXI 2024

JAKARTA, HNN- Generasi milenial dianggap masih belum menjadi aktor utama dari demokrasi dan masih menjadi etalase politik belaka. Meski demikian milenial secara faktual banyak ikut berpartisipasi dalam demokrasi di media sosial, hanya saja secara struktur belum terartikulasikan dengan baik.

Demikian mengemuka dalam acara diskusi Milenal Bincang Politik bertajuk Struktur dan Kultur E-Democracy Indonesia, yang diselenggarakan di Jakarta, baru-baru ini.

Diskusi yang diselenggarakan Sekolah Politik dan Komunikasi Indonesia yang bekerjasama dengan Bakti Kominfo itu menghadirkan pengamat politik Andi Mallarangeng, dosen komunikasi politik UGM, Nyarwi Ahmad, mantan Ketua Formappi, Sebastian Salang dan Ketua Komisi 1 DPR Meutya Hafid sebagai keynote speaker.

“Jadi kulturnya sebenarnya ada. Kulturnya itu sosial media. Internet ini menyuburkan kultur berdemokrasi karena apa yang tidak bisa dibicarakan di lembaga formal menjadi bahan diskusi,” kata Nyarwi Ahmad.

Generasi milenial, kata Nyarwi Ahmad, agar lebih partisipatif dalam berdemokrasi membutuhkan teknologi digital atau e-democracy. Dia menyebut partai politik perlu mereformasi kultur kelembagaan politik.

Begitu pula dengan cara kerja dalam sistem demokrasi. Ia mengingatkan bahwa agar e-democracy di masa mendatang tak menjadi bencana maka kalangan milenial sebagai penyangga demokrasi penting pula memiliki dan merawat gagasan besar keindonesiaan.

“Di era media sosial momentum anak muda untuk tampil sebagai politisi, sebagai pemimpin, tetapi juga jangan tampil tanpa punya substansi ide tadi,” pungkasnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Sebastian Salang, menurut dia, generasi milenial tidak lagi sekedar pengguna informasi tetapi menjadi kreator informasi. "Generasi milenial dikhawatirkan sulit mengenali dan merefleksi diri mereka sendiri," ujarnya.

Meski begitu, lanjut Sebastian Salang, perilaku dan preferensi generasi milenial dinilai berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. "Mereka generasi milenial hidup dalam perputaran informasi yang berusia sangat pendek. Informasi sangat cepat dimunculkan dan cepat juga berubah," ujarnya.

Di tempat yang sama, pengamat politik Andi Mallarangeng mengatakan internet merupakan area baru untuk kampanye politik sekaligus sebagai sarana baru untuk mensosialisasikan dan meluncurkan kebijakan di tengah kompetisi informasi yang sangat luas.

Dari data yang ada, kata Andi Mallarangeng, jumlah pengguna internet di Indonesia kini mencapai 204,7 juta pengguna dimana. "Pada tahun 2019, pengguna internet di perkotaan mencapai 62 persen, sementara di pedesaan sekitar 36 persen," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Komisi 1 DPR Meutya Hafid dalam keynote speakernya mengatakan dalam konteks demokrasi digital, ruang digital melahirkan arena baru bagi diskusi demokrasi dengan prinsip-prinsip partisipatif, transparansi dan akuntabel.

"Demokrasi pada era ini bercirikan pelaksanaan penyampaian aspirasi dan diskusi kebijakan secara terbuka tanpa dibatasi ruang, waktu dan kondisi fisik," katanya.

Politisi perempuan Partai Golkar itu meyakini perkembangan teknologi informasi dan digital yang cepat tentunya akan mengubah pola perilaku dan jenis kegiatan masyarakat dalam berpolitik. (*)

Editor : Adji