Musda Golkar Harus Mencerminkan Keteladanan Politik Mulia

avatar Harian Nasional News

Oleh Agus Wahid

 

Rotasi perlima tahunan. Itulah aturan main yang tertera dalam anggaran dasar (AD) dan rumah tangga (RT) untuk setiap organisasi, dalam lingkup politik atau lainnya. Arahnya untuk mempertahankan roda organisasi, bahkan lebih dari itu agar organisasi yang dipimpinnya tetap eksis.

Meski, AD/ART membenarkan periode kadua bagi incumbent, tapi mekanismenya tetap melalui proses pemilihan yang sah menurut ketentuan AD/ART itu. Agar legitimasinya menumbuhkan loyalitas dari seluruh pengurusnya. Dan hal ini sungguh krusial, karena tuntutan fungsional mengharuskan kinerja terbaik dalam kepemimpinan selanjutnya. Itulah pertanggugjawaban yang harus dipertaruhkan bagi sang pemimpin.

 Kini, Dewan Pengurus Daerah Golkar Kota Bekasi harus menyelenggarakan musyawarah daerah (musda). Untuk menentukan potret pemimpin baru atau pelanjutnya, yang tentu dalam skema tuntutan futuristik yang tetap eksis di tengah Kota Bekasi ini, bahkan lebih dari itu makin membesar.

 Sebuah renungan, apakah tuntutan kondisional dan pertanggungjawaban fungsional disadari sang kandidat pemimpin? Cenderung diabaikan. Yang dikejar posisi strategis. Menjadi Ketua Umum DPD Golkar di Kota Bekasi dinilai sebagai daerah penyangga.

 Namun demikian dalam mendapatkan posisi tersebut tentunya harus didasari dengan kapabilitas, capaian kinerja politik jauh sebelumnya dan prasyarat lainnya yang integrated dengan keberadaan sang kandidat.

 Bukan malah sebaliknya, sebagaimana yang terjadi dalam kontestasi pemilihan Ketua DPD Golkar Kota Bekasi. Ada cara pandang yang mendorong kandidat kadang terjebak pada permainan politik tricky. Seperti yang kita baca pada kasus pembatalan musda DPD Golkar Kota Bekasi baru-baru ini, ternyata ada rekayasa pemalsuan tanda tangan yang diduga dilakukan oleh salah satu bakal calon Ketua DPD Golkar.

 Selain itu, cara lain tidak elok yang dilakukan oleh salah satu kandidat bakal calon Ketua DPD Golkar adalah “menggoreng” isu penjualan Gedung DPD Golkar di era kepemimpinan Rahmat Effendi (Pepen). Padahal, jauh sebelumnya persoalan Gedung Golkar Kota Bekasi sudah terjadi saat pemekaran Bekasi menjadi Kota dan Kabupaten.

 Perlu kita catat rekayasa pembatalan musda dalam perspektif moral menggambarkan tindakan moral hazard. Arah dari pembatalan itu terlihat jelas pada upaya terencana dan sistimatis terhadap kandidat potensial yang siap memasuki kontestasi musda Golkar di Kota Bekasi ini.

 Di sisi lain, isu penjualan gedung DPD Golkar Bekasi juga arahnya jelas mendegradasikan citra Pepen dalam perpolitikan Golkar di tengah Bekasi. Dan isu itu muncul karena, dalam musda Golkar Kota Bekasi, akan hadir salah satu puterinya sebagai salah satu kontestannya. Upaya “smoth criminalize”, ini tak lepas dari skenario mendegradasian kandidat puteri Pepen itu.

 Memang, panggung politik sarat dan terbiasa dengan tindakan moral hazard. Dan politik juga sudah lekat dengan citra kotor. Penuh intrik. Meski demikian, politik dalam persektif keilmuan merupakan domain mulia.  Karena itu jangan dikotori praktik tricky.

 Dan organisasi Partai Golkar, sebuah organisasi politik yang demikian lama di negeri ini harus mampu memberikan keteladanan yang baik. Kini saatnya, kontestasi pemilihan Ketua  DPD Golkar Kota Bekasi diwarnai dengan proses yang mengedepankan nilai-nilai terpuji, konstruktif. Rivalitasnya perlu dilandaskan pada prinsip kapasitas dan kapabilitas, bahkan integritas yang sudah teruji.

 Kini, memasuki kontestasi dalam arena musda, sudah muncul sejumlah nama kandidat, di antaranya Ade Puspitasari, yang kebetulan salah satu puteri Wali Kota Bekasi saat ini. Keberadaan Ade demikian panggilan akrabnya menjadi sorotan minus, terutama bagi barisan rivalis. Dengan arguemen “cegah politik dinasti”, maka kaum rivalis berusaha menghadang langkah politik Ade menuju kepemimpinan utama di tengah DPD Golkar Kota Bekasi.

 Bisa dipahami sikap politik kontrarian itu. Yang menjadi masalah, Ade relatif  sudah teruji reputasi politiknya. Capaian sekitar 60-an ribu suara dalam pemilu legislatif – sebagai anggota DPRD Provinsi Jawa Barat  bisa dijadikan barometer awal di tengah masyarakat Kota Bekasi.  Memang, banyak faktor ketika melihat realitas capaian suara, antara lain, “amunisi”, di samping sejumlah faktor lainnya.

 Yang menjadi masalah, rivalis yang ada di tengah bursa kepemimpinan musda Golkar di Kota Bekasi ini terkategori jauh dari magnet publik. Saat mengikuti pemilihan legislatif lalu, capaiannya jauh dibawah Ade. Sekitar seperenamnya. Kontras perbedaan reputasi politik dalam diri antar kandidat juga layak menjadi pertimbangan.

 And the last but not least, Golkar ke depan di tengah Kota Bekasi ini tetap diperlukan sang pemimpin yang tak boleh di bawah kemampuan Ketua DPD Golkar Kota Bekasi saat ini. Akan jauh lebih diharapkan jika mampu mengungguli kinerjanya, sehingga landasan hadits yang perlu direnungkan: tergolong rugi besar jika hari kamarin lebih dari hari ini. Juga, tergolong rugi jika hari ini masih sama baik dengan hari kemarin. Maka, hari ini harus jauh lebih baik dari kemarin. Dan berarti, esok atau mendatang harus jauh lebih hari ini.  Inilah tantangan yang tak boleh dipandang sebelah mata.

Sang pemimpin DPD Golkar Kota Bekasi harus tetap magnetik, sehingga  jika pun dipercaya ke ranah kekuasaan eksekutif  mampu berbuat banyak untuk “negeri” Kota Bekasi ini.

 Semoga, ekspektasi ini menjadi renungan, sekaligus kesadaran bagi para kontestan. Jangan kedepankan mimpi indah sebagai sang ketua, apalagi dengan cara-cara tricky yang sama sekali tak terhormat. Tapi, bayangkan tugas dan tanggung jawab yang harus dipikul.

 Penulis: Direktur Porgam dan Analis Institut Kajian Policy Katulistiwa

 

Editor : Adji